Persen Kasus Keracunan Makanan Berasal dari Perusahaan Katering
"Sang Landep"
Praktik hidup sehat dan penggunaan sanitasi yang belum
memadai di lingkungan masyarakat menyebabkan tingginya risiko kasus keracunana
makanan. Kebanyakan penyebab terjadinya kasus keracunan makanan disebabkan oleh
mikroba seperti bakteri, virus dan parasit.
“Kasus keracunana karena makanan sangat sering terjadi di
masyarakat. Hal ini mengindikasikan bahwa kondisi keamanan pangan di masyarakat
sangat memprihatinkan,” kata Prof Dr Ir Umar Santoso MSc, dalam pidato
pengukuhan guru besar bidang kimia pangan dan hasil pertanioan Fakultas
Teknologi Pertanian (FTP) UGM, Selasa (17/2) di Balai Senat UGM.
Dalam pidatonya yang berjudul “Peranan Ahli Pangan dalam
Mendukung Keamanan dan Kehalalan Pangan”, sumber makanna yang menjadi penyebab
kasusu keracunan makanan berasal dari perusahaan katering 65 persen, makanan
industri kecil 19 persen dan makan yang disiapkan rumah tangga sebesar 16
persen. Jenis makanan yang menyebabkan kasus keracunana paling banyak berasal
dari makana utama, disusul jamur dan kemudian mie. Sedangkan kasus ini sering
terjadi pada karyawan perusahaan 45 persen, sekolah 25 persen, dan masyarakat
umum 20 persen.
“ Korban yang menderita terjadi pada orang dewsa 75 persen,
dan sisanya pada anak-anak,” jelasnya.
Ia menambahkan, selain faktor keamanan pangan yang
menyebabkan adanya kasus keracunan makanan, praktek pemalsuan dalam perdagangan
pangan juga kerap terjadi dan sangat memprihatinkan, hal ini berdampak buruk
tidak hanya menyangkut kualitas tetapi juga keamanan dan kehalalan pangan.
Menyinggung penentuan halal dan haram pangan, kata Umar,
dapat ditinjau dari tiga segi, yaitu jenis bahan, cara penyiapannya, dan usaha
untuk mendapatkannya. “Konsep halal makanan dalam islam sebetulnya sederhana,
tetapi karena pengolahan dalam industri bersifat kompleks maka untuk menentukan
status kehalalan produk menjadi tidak mudah. Adanya berbagai bahan tambahan
pangan menjadi titik kritis penentuuan status kehalalan,” kata.
Umar Santoso menyebutkan untuk verifikasi status kehalalan
suatu bahan dapat dilakukan dengan dua pendekataan, yaitu dengan penelusuran
asal-usul bahan, atau dengan autentikasi bahan melalui analisis kimia sejauh
teknologi memungkinkan.
Meski demikian, katanya, para ilmuwan berusaha menerangkan
alasan pengharaman berdasarkan kajian ilmiah. Mungkin sebagian alasan tidak
dapat terjangkau dengan pendekatan ilmiah saat ini. Beberapa makanan yang
diharamakan dalam Islam diantaranya bangkai, darah, daging babi, dan daging
hewan yang disembelih atas nama selain Allah SWT.
Beberapa makanan yang disebutkan itu, lanjut Umar, tentang
diharamkannya bangkai, secara ilmiah dapat dijelaskan bahwa bangkai binatang
merupakan bahan yang mudah mengalami pembusukan, baik karena proses enzimatis maupun
karena serangan bakteri. “Bakteri akan memecah zat-zat gizi dan selama
pembusukan sehingga timbul senyawa-senyawa bersifat toksik,” jelasnya.
Adapun darah, merupakan cairan alat transport baik zat-zat
gizi maupun zat racun dalam tubuh. Sehingga produk-produk metabolisme dan
mikroorganisme serta virus penyebab penyakit didistribusikan oleh darah.
Selain itu, daging Babi merupakan jenis makana yang mudah
memberikan reaksi alergi, karena kandungan histamin dan senyawa imidazole dapat
menimbulkan gejala inflamsai. “Daging babi merupakan daging banyak mengandung
parasit dibanding hewan lain yang dikonsumsi manusia,” tambahnya.
Meski begitu, diakuinya Pria kelahiran Magelang 17 Februari
1959 ini, konsep halal untuk sekarang ini telah memberikan peluang baik bagi
pengusaha muslim maupun non muslim untuk dapat menjadikannya bisnis yang besar
baik domestik maupun pasar global. Menurutnya, permintaan produk halal
meningkat seiring dengan perkembangan jumlah penduduk muslim dan meningkatknya
kesadaran masyarakat untuk mengkonsumsi pangan yang bergizi, menyehatkan, aman
dan halal.
“Industri pangan halal global telah memanfaatkan konsep
'halalalan-thayyiban' sebagai alat untuk pemasaran. Apalagi dengan jumlah
penduduk muslim dunia sekitar 1,3 miliar dimana di Indonesia, penduduk muslim
lebih dari 85 persen atau sekitar 170 juta orang,” ujarnya.
Dari segi industri, penggunaan label halal bukan sekedar
sertifikasi produk akhir tetapi melibatkan verifikasi semua komponen dalam
penentuan halal pada setiap tahap produksi. Sementara verifikasi dan validasi
setiap item untuk penentuan halal oleh lembaga yang berkompeten menurut nya
sangat penting karena hal itu sangat memerlukan sistem monitoring yang ketat
termasuk analisis kimia di laboratorium.
“Tantangan utamanya adalah pengembangan teknik analisis
yang cepat dan akurat untuk verifikasi produk halal, untuk analisis bahan-bahan
non halal seperti turunana produk babi dan lain-lain,” kata suami Ir Henny
Krissetiana Hendrasty MP. (Humas UGM/Gusti Grehenson)
Posting Komentar untuk "Persen Kasus Keracunan Makanan Berasal dari Perusahaan Katering"